Ditjen Diksi – Perubahan dunia yang sangat cepat perlu diantisipasi dengan menguatkan sumber daya manusia. Selain melalui kesehatan, juga melalui pendidikan. Selama 30 tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia belum mengalami perubahan mendasar. Sebab itu, untuk dapat mengikuti revolusi industri 4.0, perbaikan dunia pendidikan menjadi krusial.
Direktur Jenderal (Dirjen Anggaran) Kementerian Keuangan, Askolani mengatakan, mulai 2019 pemerintah akan fokus merevitalisasi pendidikan vokasi. Selain untuk meningkatkan kualifikasi SDM dalam dunia kerja, pendidikan ini juga dikembangkan agar relevan dengan kebutuhan industri yang menjadi motor penggerak ekonomi. Sayangnya, data BPS menunjukkan masyarakat berpendidikan SMK menyumbang angka pengangguran tertinggi sebesar 11,2 persen per Agustus 2018.
Ketua Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia, Sigit Pranowo mengatakan, selama ini penghargaan terhadap lulusan vokasi masih rendah, baik yang dari SMK maupun Diploma. Umumnya, pada setiap penerimaan pegawai yang dicari selalu sarjana. Apalagi pada pendaftaran PNS peluang untuk lulusan vokasi masih langka.
“Apakah untuk pekerjaan administrasi harus sarjana? Bahkan saat ini petugas keamanan pun ada yang sarjana. Karena semua pekerjaan harus sarjana, akhirnya bermunculan penyelenggara pendidikan sarjana abal-abal. Lalu untuk apa membuat pendidikan vokasi jika tidak ada kesempatan untuk ikut mendaftar bekerja?,” kata Sigit.
Keterlibatan Dunia Usaha
Menurut Sigit, agar dapat mendukung pembangunan, penyelenggara pendidikan vokasi perlu diberi fleksibilitas untuk menetapkan pilihan program studi. Buka tutup program studi juga perlu disesuaikan kebutuhan.
Dengan begitu, industri tidak perlu menyelenggarakan sekolah kejuruan atau perguruan tinggi sendiri untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya seperti yang saat ini dilakukan banyak perusahaan.
“Hal ini terjadi karena tidak ada komunikasi harmonis antara penyedia dan pengguna tenaga kerja,” kata Sigit. Sejak tahun 90-an pemerintah telah mencanangkan link and match antara pendidikan vokasi dan industri. Namun, penyusunan kurikulumnya masih berjalan sendiri-sendiri. Penyelenggara pendidikan merasa mampu melihat kebutuhan industri. Sementara, industri merasa lulusan pendidikan vokasi belum siap kerja. Sebab itu, keterlibatan industri menjadi mutlak agar lulusan vokasi memenuhi standar kebutuhan, misalnya, melalui kegiatan praktik dengan melibatkan instruktur dari industri.
Disamping itu, jika guru dan dosen diberi kesempatan mengikuti kegiatan serta penelitian terapan di industri, produktivitas industri juga akan meningkat. Indonesia tidak hanya membangun industri manufaktur, tetapi juga industri jasa, keuangan, kesehatan dan lainnya. Dengan demikian, revitalisasi perlu melibatkan semua sektor. Sebab itu, kata Sigit, penyelenggaraan magang bersertifikat selama 6 bulan yang dilakukan Kementerian BUMN merupakan terobosan yang patut didukung.
“Contoh yang sudah lama berlangsung adalah peserta magang diperlakukan sebagai magang te-ko alias pembuat minuman teh dan kopi. Padahal manfaat dari keduanya dapat diperoleh bila program magang sudah dirancang bersama,” ujar Sigit.
Kompetensi Tenaga Pendidik
Sigit mengingatkan, revitalisasi tenaga pendidik juga harus diprioritaskan. Menurutnya, tenaga pendidik vokasi saat ini umumnya adalah lulusan sarjana dan magister pendidikan akademik, bukan pendidikan vokasi atau magister terapan.
Kondisi ini berpengaruh pada cara mengajar dan mengevaluasi kompetensi siswa. “Bahkan asesor akreditasi pendidikan vokasi yang berlatar belakang akademik seringkali tidak nyambung,” katanya.
Pendidikan vokasional lebih mengutamakan praktik daripada teori. Karenanya, para pengajar harus memiliki pengalaman profesional. Jadi, seharusnya pembinaan kompetensi dosen vokasi tidak di jalur akademik.
Jika dosen terlibat dalam kegiatan industri, pengalaman terapannya akan bertambah dan terbaharui, baik terkait metode kerja maupun peralatan dan teknologi industri termutakhir.
Alokasi anggaran untuk pendidikan vokasi di 2019 mencapai Rp17,2 triliun, jauh lebih tinggi dibanding tahun 2018 sebesar Rp10,1 trilun. Dana tersebut tersebar di Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ristekdikti, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pariwisata.
Anggaran ini akan digunakan untuk melatih 235 ribu tenaga kerja, revitalisasi 12 Politeknik, peningkatan kompetensi 6771 instruktur, serta pengadaan diklat di 26 lembaga. Selain itu, dana ini juga ditujukan untuk pelatihan sertifikasi, penyiapan 1400 ruang praktek di SMK, serta bantuan operasional peralatan pendidikan.
Sumber: https://www.kompasiana.com/irmadewi/5c827a2643322f7f05585b42/revitalisasi-pendidikan-vokasi-di-indonesia?page=2